Breaking News

Refleksi Historis Mengenang Pengorbanan Nabi Ibrahim Dan Putranya Serta Memaknai Nilai-Nilai Spiritual Ibadah Haji


Umat Islam kembali merayakan Hari Raya Idul Adha. Dalam tradisi masyarakat Indonesia juga disebut sebagai “lebaran Haji atau Idul kurban” karena pada saat itu  sebagian umat Islam menunaikan rukun Islam kelima yakni Ibadah Haji. Pemerintah melalui Kementerian Agama RI telah menetapkan bahwa Idul Adha 10 Dzulhijjah jatuh pada hari Ahad 11 Agustus 2019.
Di dalam pelaksanaan Idul Adha yang dirayakan oleh umat islam di seluruh dunia terdapat perintah berqurban. Yaitu mengkurbankan he­wan ternak berupa kambing serta sa­pi. Inilah hakikat sebagai bukti ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt atas limpahan rejeki yang di­berikanNya. Refleksi ibadah qurban sejatinya adalah ungkapan rasa sosial manusia yang sarat dengan nilai nilai kemanusiaan itu sendiri.
Meskipun ibadah kurban dalam ajaran agama hanya diperintahkan setahun sekali, namun spirit pengorbanan di dalamnya perlu senantiasa dihidupkan. Bentuk pengorbanan bisa beragam, meskipun dengan spirit yang sama. Kebaikan bisa diberikan dengan beragam cara, termasuk dengan mengulurkan tangan bagi yang membutuhkan. Saling bekerja sama dalam kebaikan, tenggang rasa, serta mengalahkan egoisme pribadi. Kesemuanya ini merupakan bentuk lain dari pengorbanan. Sederhana tapi bermanfaat.
Ibadah wajib (mahdhah, vertikal) dan ibadah sosial (ghairu mahdhah, horisontal), keduanya harus serimbang, seiring-sejalan. Saling melengkapi, saling menyempurnakan. Melakukan ibadah wajib semata, adalah orang yang merugi, karena belum memberi manfaat kepada sesama (bangsa dan negara). Sedangkan melakukan ibadah sosial tanpa dibarengi ibadah wajib, maka akan sia-sia.
Dalam sebuah kesempatan, Ketua Majelis Ulama (MUI) Kota Palu, Sulawesi Tengah Prof Dr H Zainal Abidin MAg mengatakan bahwa Idul Adha (Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kesinambungan jalan kesalehan sosial spiritual, dari Idul Fitri. Idul Adha merupakan manifestasi dari ketulusan berkorban, kerendah-hatian untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail sekaligus memaknai nilai-nilai spiritual dari manasik haji.
“Kedua hari raya tersebut bermuara pada nilai-nilai kepedulian, ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, pentingnya silaturahim, dan etos berbagi yang disimbolkan dengan zakat fitrah pada Idul Fitri dan daging kurban pada Idul Adha,” jelasnya
Ibadah haji tidak hanya sebagai kewajiban dan rukun kelima dalam Rukun Islam, melainkan sebagai ibadah sosial. Kerinduan kepada Allah dan Nabi menjadi unsur utama dalam menjalankan ibadah ini dimana para jamaah haji dikumpulkan dari berbagai ras, etnik, suku dan bangsa.
Di antara makna sosial haji yang menghubungkan antara manusia dan manusia lainnya sebagai makhluk sosial adalah antara lain penyadaran akan adanya kebhinekaan umat Islam.
“Umat Islam harus sadar bahwa kebhinekaan umat Islam itu tidak bisa dihindari, karena adanya perbedaan adat-budaya, pemahaman keislaman, tingkat intelektualitas, bahasa, dan lain sebagainya. Kebhinekaan umat Islam merupakan sebuah realitas yang niscaya ada,” urai Dewan Pakar Pengurus Besar Alkhairaat itu.
Kesadaran akan kebhinekaan umat Islam yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji, menurut dia, semestinya dapat meningkatkan kesadaran kita akan kebhinekaan umat manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Jika dalam ibadah haji kita mampu melebur dalam ikatan ukhuwah islamiyyah dan mengabaikan segala perbedaan mazab, ras dan kelas sosial, maka seyogyanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita pun mampu melebur dalam ikatan ukhuwah insaniyah dan mengabaikan segala perbedaan termasuk perbedaan agama dan keyakinan,” katanya.

No comments:

Powered by Blogger.