Breaking News

NU, NW dan Jokowi (Kesamaan Nilai Dalam Menjaga Keutuhan NKRI)


Indonesia adalah sebuah negara bangsa, negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Karena itu, secara otomatis perjuangan bangsa Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari para pejuang Islam itu sendiri.
Ulama sebagai figur yang kharismatik sekaligus pengemban nilai tradisional, menjadi tokoh dan tumpuan masyarakat. Sejak dahulu, para ulama dari berbagai daerah telah memperlihatkan sepak terjangnya dalam setiap dinamika sosial. Baik dari sudut pandang perjuangan melawan penjajahan, maupun dari sudut pandang pembangunan bangsa.
Komitmen para ulama dalam memajukan kehidupan berbangsa tak dapat dinafikan oleh siapapun, apalagi dhilangkan. Sejarah mencatat dengan tinta dan darah tentang perjuangan para Ulama (Kiai-Tuan Guru) untuk bangsa ini.
Sebut saja seperti apa yang diperjuangkan oleh Hadratussyeikh KH.Hasyim As’ary, mendirikan Jamiyyah (organisasi) Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 januari 1926. Nahdlatul Ulama Kebangkitan/Pergerakan Ulama adalah organisasi yang diisi oleh para ulama-ulama terkemuka di Nusantara, tidak hanya menjadi organisasi keagamaan semata, melainkan juga menjadi organisasi sosial kemasyarakatan. Sehingga tak heran, jika hingga saat ini NU selalu berikhtiar untuk kemajuan pembangunan disegala aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesejahteraan, ekonomi dan lainnya. Selain itu, NU juga mengemban nilai toleransi yang sangat tinggi.
NU selalu menghargai dan mengakui bahwa dalam episode panjang sejarah perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia juga melibatkan tokoh, pejuang, dan pahlawan dari kalangan non Islam.
Kesepakatan para founding father yang tergabung dalam panitia sembilan, yang dimotori oleh KH Wahid Hasyim sebagai refresentasi NU, menetapkan Pancasila sebagai dasar negara selalu dipegang teguh oleh NU. Karena itulah, NU menjadi garda terdepan dalam melawan kelompok-kelompok yang ingin merongrong NKRI dan anti terhadap Pancasila.
Hal tersebut selaras dengan apa yang menjadi tujuan NU, yakni: menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ahlussunah Wal Jama’ah sendiri adalah sebuah paham yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dan ekstrim nash (skripturalis). Apa yg disebut sebagai nilai tawassuth (moderat) tersebut, melandasi NU menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sumber pemikiran dan rujukan, juga menggunakan kemampuan akal (ijma’) ditambah dengan realitas empirik (qiyas).
Cara berpikir tersebut dirujuk dari pemikir ulama terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu madzhab: yaitu Syafi’i, meskipun tiga madzhab yang lain juga diakui: Hanafi, Maliki, Hambali, sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU yang berbintang empat di bawah dibawah bola dunia. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syari’at.
Selain KH. Hasyim Asy’ari yang telah mendirikan NU sebagai benteng pertahanan NKRI, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) juga mendirikan organisasi yang diberi nama Nahdlatul Wathan (NW) yang berarti kebangkitan tanah air. Organisasi yang didirikan pada tanggal 1 Maret 1953 ini menganut faham aqidah Islam Ahlu al-Sunnah wa al Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i dan berasaskan Pancasila.
Sedangkan tujuan berdirinya NW adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al- Muslimin dalam rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i Radliyallahu ‘anhu.
NW yang merupakan organisasi terbesar di NTB telah banyak memiliki cabang diseluruh tanah air ini, telah melahirkan tokoh pejuang bangsa dan agama. Sejarah mencatat, perjuangan melawan penjajah dalam usaha kemerdekaan bangsa telah dimotori oleh Pejuang pejuang NW dengan tinta dan darah.
Berangkat dari hal tersebut, maka dapat ditarik akar historisnya bahwasannya NU dan NW memiliki kesamaan nilai. Keduanya, sama-sama berperan dan berjuang untuk kemashalatan umat, menjunjung tinggi Pancasila, serta berkomitmen dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Kesamaan nilai-nilai yang diperjuangkan NU dan NW tentu berdampak pada sikap saling mendukung antar keduanya. Hal ini dapat dilihat dari dukungan penuh cucu pendiri NW,  Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur NTB, terhadap penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU yang digelar di Lombok NTB sejak 23 hingga 25 November 2017.
Pada Munas-Konbes NU yang dihadiri oleh Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) tersebut, TGH. Zainul Majdi yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) ini menyampaikan terima kasih kepada NU yang telah memilih NTB sebagai lokasi Munas-Konbes.
Bagi Gubernur penghafal 30 juz Al-Qur’an ini berikut tafsirnya, berkumpulnya para ulama se-Indonesia di Lombok NTB tentu menjadi sebuah kebanggaan dan keberkahan bagi masyarakat NTB itu sendiri.
Pada kesempatan tersebut, Gubernur lulusan Doktor di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir ini juga menyampaikan bahwa kakeknya, Maulana Syeikh TGKH Zainuddin Abdul Majid memiliki sanad ilmu yang sama dengan Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, yang bersambung sanad ilmunya pada Ulama di Makkah Almukarromah. Beliau juga menyampaikan kakeknya pernah berpesan agar ilmu selalu dihidupkan, cinta teguh pada agama, dan cinta kokoh pada negara. Pesan tersebut menunjukkan betapa cintanya Maulana Syeikh terhadap agama dan negaranya.
Oleh karenanya, sangat tepat Presiden Jokowi telah menetapkan Maulana Syeikh sebagai pahlawan nasional dari NTB, kebanggaan masyarakat NTB, kebanggan bangsa Indonesia.
Kesamaan nilai yang dimiliki NU dan NW juga menjadikan kedua organisasi ini sebagai aset dan kekuatan besar yang dimiliki Indonesia. Sebab, jika berbicara konteks penyelenggaraan negara, pemerintah sebagai pengemban amanah konstitusi, tidak dapat sepenuhnya menjalankan sistem bernegara dan berbangsa sendirian, melainkan harus ada penyangga yang ikut membantu untuk memperkuat pemerintah itu sendiri. Dalam hal ini, NU dan NW adalah jangkar yang dapat membantu pemerintah dalam penyelenggaraan negara.
Pemikiran para ulama harus senantiasa diterima, dirumuskan dan ditetapkan sebagai produk kebijakan oleh pemerintah. Hal tersebut juga disampaikan oleh Presiden Jokowi saat pembukaan Munas-Konbes NU di Lombok NTB.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa akan menunggu rekomendasi dari Munas-Konbes yang bertajuk “Memperkokoh Nilai Kebangsaan Melalui Gerakan Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga” ini, agar ke depannya dapat dijadikan kebijakan.
NU dan NW dikenal sebagai organisasi yang menjunjung tinggi nilai toleransi, sebagaimana yang dibanggakan atau diharapkan oleh Presiden Jokowi. Sebagai pemimpin di negara yang sangat multikultural seperti Indonesia ini, tentu Presiden Jokowi juga mengalami kesulitan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Bayangkan, Indonesia memiliki sekitar 714 suku yang berbeda, agama berbeda dan 1.100 bahasa daerah.
Untuk itu, eksistensi dan keterlibatan NU dan NW dalam membantu pemerintah untuk mengejawantahkan akselarasi pembangunan maupun dalam hal menangkal penyebaran aliran-aliran yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa tentu sangat diharapkan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia pada umumnya.
Pada akhirnya ummat mengakui bahwa NU dan NW adalah wadah penempaan kader santri ulama dan umara’, kader yang didik dalam 2 organisasi ini sudah pasti dibekali ilmu agama juga ilmu kepemimpinan, sehingga tidak heran NU dan NW adalah referesentasi kecintaan terhadap agama dan negara, dalam satu tarikan nafas.
Sumber : http://metrontb.com/nu-nw-dan-jokowi-kesamaan-nilai-dalam-menjaga-keutuhan-nkri/

No comments:

Powered by Blogger.