Breaking News

Isu Ketidakadilan APBN Tidak Benar, Ini Faktanya!


Jakarta – Belakangan ini, terdapat pihak-pihak yang mengeluarkan pernyataan tidak benar dengan menyebut adanya ketidakadilan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di era Presiden Jokowi. Sesuai fakta dan data yang ada, proporsi anggaran kesehatan mencapai 5% selama periode kepemimpinan Jokowi sejak tahun 2016, dibandingkan dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya memberikan 3% dari APBN untuk anggaran kesehatan. Dalam sepuluh tahun terakhir, anggaran kesehatan meningkat menjadi 296,4% dari Rp.28 triliun pada 2009 menjadi Rp.111 triliun pada 2018.
Keberpihakan APBN terhadap pembangunan daerah jauh berbeda di era SBY dan Jokowi, dimana pada Era SBY rata-rata alokasi transfer daerah sebesar 32% dari total belanja Negara. Di era Jokowi, rata-rata alokasi transfer daerah mampu ditingkatkan mencapai 36 % dari total belanja Negara. Transfer daerah juga difokuskan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pembangunan infrastruktur fisik yang dapat menambah daya saing daerah.
Komitmen untuk mendukung pembangunan dari pinggiran juga ditunaikan melalui implementasi Dana Desa yang dicanangkan Jokowi pada tahun 2015. Anggaran Dana Desa pun terus mengalami penambahan dari Rp 20,7 triliun pada 2015 menjadi Rp 60 triliun pada 2017 dan 2018, bahkan meningkat pada 2019 capai Rp.73 triliun.
Selain itu, mari kita bandingkan pengelolaan defisit APBN era Jokowi dan SBY. Pada periode Jokowi, defisit anggaran hanya tumbuh sebesar 9,18%, dari Rp 298,5 triliun di 2015 menjadi Rp 325,9 triliun terhadap target APBN. Sementara pada periode SBY defisit anggaran melonjak tajam. Di 2004, defisit anggaran tercatat Rp 14,4 triliun, namun melonjak hingga 515 % di 2009 menjadi Rp 88,6 triliun. Kemudian pada periode SBY jilid II, defisit anggaran juga masih melonjak sebesar 383,9 % dari Rp 46,8 triliun di 2010 menjadi 226,7 triliun di 2014.
Kebijakan fiskal di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, telah dilaksanakan secara konstitusional dengan beberapa bukti:
  1. APBN secara terbuka; Hasil Open Budget Indeks (OBI) terakhir Indonesia mendapatkan skor 62 pada 2017, meningkat dari 52 di 2015. Skor ini menunjukan Indonesia tingkat keterbukaan pengelolaan anggaran di Indonesia sudah sampai pada tingkat substansi. Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia adalah negara paling terbuka kedua dalam hal pengelolaan anggaran.
  2. APBN yang bertanggungjawab; Hasil audit BPK terkait pengelolaan APBN 2016-2017 memberikan opini terbaik, yakni Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah. Buka hanya pemerintah pusat, tetapi hampir semua Kementeria/Lembaga (K/L) juga mendapatkan opini WTP, kecuali dua lembaga. Jelas, pengelolaan APBN juga dilaksanakan secara bertanggungjawab.
  3. APBN diperuntukkan untuk rakyat; Pertama, anggaran pendidikan sudah dialokasikan sebesar 20% dari total belanja Negara, sesuai mandat pasal 31 UUD 1945. Kedua, anggaran kesehatan dialokasikan 5% sesuai mandat pasal 28C. Ketiga, rata-rata anggaran perlindungan sosial  di zaman Jokowi selama 2015-2019 adalah sebesar 9,4 % dari APBN. Nilai tersebut lebih tinggi dibanding rata-rata anggaran perlindungan sosial periode rezim SBY jilid satu dan dua yang masing-masing sebesar 0,5 % dan 0,8 %. Keempat, rata-rata anggaran fungsi ekonomi pada periode Jokowi sebesar 20,1 % dari APBN. Jauh lebih tinggi dari rata-rata belanja fungsi ekonomi di era SBY jilid II sebesar 9,1 %, dan bahkan pada era SBY jilid I yang hanya 8,0 %.
Data-data inilah yang secara nyata bantahkan isu terkait ketidakadilan APBN di era Jokowi. Perencanaan dan pengelolaan APBN dilakukan seadil-adilnya oleh pemerintah saat ini dengan tetap menunjukkan keberpihakan kepada rakyat




Sumber

No comments:

Powered by Blogger.