Media Sosial Disorot Jadi Inkubator Terorisme Sasar Anak Muda
Pengamat Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta mengatakan, bahwa media sosial menjadi penyebab utama kalangan anak muda mudah terpapar radikalisme.
Menurutnya, kelompok radikalisme zaman dulu merekrut calon terorisme secara tatap muka. Namun sekarang, kelompok perekrut terorisme masa kini menyebarkan konten-kontennya di internet secara acak.
Ketika ada anak yang tertarik dengan konten radikalisme tersebut, perekrut akan menghubungi calon teroris.
Selain itu kurangnya pengawasan dari orangtua juga menjadi faktor anak muda terkena radikalisme.
Biasanya orangtua yang menganggap anaknya terlihat baik-baik saja, akan kaget saat mengetahui anaknya terlibat aksi terorisme.
Stanislaus memberikan contoh, pelaku pengeboman di Gereja Katolik Medan, Sumatera Utara (28/8/2019) yakni pelajar yang mempunyai masalah di sekolahnya.
Kemudian pelaku mencari di internet mengenai cara membuat bom.
Pelaku memang tidak bergabung dengan kelompok manapun, pelaku ini kan menjadi pelaku yang merencanakan sendiri dan melakukan aksinya sendiri. Hal itu justru dinilai sangat berbahaya, karena tidak dapat terdeteksi.
Selain itu, peristiwa pengeboman di Surabaya pada Mei 2018 ataupun bom Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, pada November 2016 juga melibatkan anak remaja. Dua pelaku di Samarinda masih berumur 16 dan 17 tahun. Mereka punya peran sebagai pembuat bom.
Menurut Peneliti terorisme Hasibullah Satrawi, aksi anak-anak muda tersebut beberapa karena mengikuti orang tua yang lebih dulu terpapar paham ekstremisme. Ini terjadi dalam kasus bom dua gereja di Surabaya. “Namun ada juga anak-anak yang secara aktif melakukan tindakan teror,” kata Hasibullah.
Anak-anak aktif ikut melakukan aksi terorisme tersebut, ujar Hasibullah bisa terjadi karena kelompok teroris saat ini mengalami ‘milenialisasi’. Kelompok teroris dengan mudah menyusupkan beragam propaganda yang mampu memikat pengguna internet dan media sosial.
“Tren media sosial berpengaruh juga di dalam jaringan ini. Mereka mampu memanfaatkan media sosial untuk menggalang, merekrut, mempengaruhi, dan mengajak, terutama anak-anak remaja,” ujar Hasibullah. “Tak hanya itu, pemberian materi pengeboman juga dilakukan lewat jalur media sosial.”
Sementara, anggota Tim Ahli Konsultasi Bidang Psikologi Program Deradikalisasi BNPT, Mirra Noor Milla menyebut, penggunaan media sosial juga membuat proses radikalisasi jauh lebih masif dan cepat.
Menurut Mirra, dulu anak usia belasan agar bisa punya peran signifikan dalam sebuah kelompok teror membutuhkan waktu yang tak singkat. Mereka yang tertarik ajaran-ajaran kekerasan belum tentu bertemu dengan kelompok yang sesuai.
“Kalau ketemu kelompoknya pun belum tentu direkrut. Dulu kelompok radikal ini jauh lebih selektif merekrut orang untuk terlibat dalam aksi jihad atau apa pun,” kata Mirra seperti dilansir detikcom, Jumat (15/11/2019).
Era ISIS, semua berubah. Proses radikalisasi yang sebelumnya lewat kamp-kamp pelatihan, kini kebanyakan terjadi lewat media internet. “Sekarang inkubatornya ada di medsos. Ini kemudian menjelaskan kenapa kemudian tren radikalisasi semakin mudah dan cepat,” ujar Mirra.
Mirra menyebut anak-anak muda di medsos mendapatkan diskusi soal paham ekstrem yang dibungkus dengan propaganda dalam bentuk narasi-narasi kegelisahan.
“Istilah psikologinya narasi itu meningkatkan persepsi ketidakadilan dan persepsi terancam. Bahwa dunia ini akan memburuk, penguasa yang punya peran besar di dunia jahat maka kita perlu melakukan sesuatu,” kata pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
No comments: