Besar, Peluang Penggunaan Komposit dalam Pembuatan Pesawat
Peluang bahan komposit untuk struktur pesawat terbang sangat besar sehingga industri manufaktur yang bergerak di bidang dirgantara harus memanfaatkan momen tersebut.
Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB, Prof. Bambang Kismono Hadi memaparkan studinya terkait “Tantangan dan Peluang Penggunaan Bahan Komposit untuk Struktur Pesawat Terbang” dalam Orasi Ilmiah Guru Besar ITB, di Aula Barat ITB seperti dikutip dari keterangan resmi, Selasa (21/01/2020).
Menurut Prof. Bambang, struktur yang optimum dan efisien hanya bisa dibuat dengan bahan komposit. Penemuan serat gelas (kaca) pada 1935 dan serat karbon pada 1958 merupakan hal penting dalam dunia material. Karbon yang seratnya kuat dan ringan menjadi revolusi dalam dunia komposit.
Saat ini, kata Bambang, telah dilakukan riset lanjutan mengenai struktur komposit yang dapat menunjang dunia dirgantara. Salah satunya adalah struktur anisogrid yang mirip jaring. Struktur ini banyak diteliti di Rusia dan Eropa Timur untuk struktur pesawat tempur. Struktur ini akan menaikkan kekakuan torsi sehingga menghindari flatter.
Selain itu, dilakukan pula studi biomimetika atau mempelajari struktur suatu bahan dari alam. Misalnya struktur dari bambu yang sedang ia pelajari akhir-akhir ini. “Bambu sifatnya unik yaitu sangat kuat tapi sangat lemah untuk menghadapi tegangan geser. Maka dari itu kami tengah meneliti untuk membuat stukrtur sandwich silinder pada bambu,” tuturnya. Selain dari bambu, dilakukan juga studi biomimetika struktur sayap luar kumbang xylotrupen gideon.
Komposit merupakan gabungan dari dua bahan atau lebih yang dicampur secara makroskopis untuk memperoleh sifat yang lebih baik dari bahan pembentuknya. Umumnya, bahan utama pembentuk bahan komposit adalah penguat (serat) dan pengikat (matriks). Bahan komposit sendiri telah dipakai manusia ribuan tahun yang lalu.
“Struktur yang optimum dan efisien hanya bisa dibuat dengan bahan komposit. Penemuan serat gelas (kaca) pada 1935 dan serat karbon pada 1958 merupakan hal penting dalam dunia material. Karbon yang seratnya kuat dan ringan menjadi revolusi dalam dunia komposit,” tuturnya.
Salah satu tantangan saat ini adalah harga komposit yang mahal. Prof. Bambang menyampaikan bahwa serat karbon lebih mahal dari alumunium sehingga untuk dapat bersaing maka harus dikurangi ongkos produksi, ongkos assembly, dan ongkos operasi. Sedangkan peluang komposit dalam dunia dirgantara sangat besar.
“Peluang penggunaan komposit di pesawat transportasi saat ini contohnya adalah Airbus A380, Airbus A350, Boeing 787, dan Boeing 777 yang menggunakan total serat karbon sebanyak 13.672 ton pertahun. Kebutuhan serat karbon sangat besar dan diproyeksikan ke depannya akan terjadi kekurangan pasokan untuk memenuhi kebutuhan. Saya rasa peluang ini harus dilihat oleh industri manufaktur aviasi seperti PT. Dirgantara Indonesia untuk bersaing di pasar dunia,” tutupnya.
No comments: