Breaking News

Aparat Diminta Tak Ragu Tindak Tegas Kelompok Anti-Pancasila


Aparat penegak hukum diminta tak ragu untuk menindak tegas kelompok-kelompok yang menolak Pancasila sebagai dasar negara dan tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tak hanya kelompok Hizbut Tahrir yang telah dilarang karena ingin ideologi Pancasila menjadi sistem khilafah, tindakan tegas juga perlu dilakukan terhadap kelompok-kelompok lain, baik ekstrem kanan maupun kiri yang menolak Pancasila dan NKRI.

"Seluruh organisasi, apapun namanya baik yang ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Liberal, sosialis, komunis, khilafah, yang itu tidak mau mengakui dasar negara Republik Indonesia Pancasila dan tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia maka aparat keamanan, negara harus tegas pada mereka," tegas dosen sosiologi politik dan sosiologi agama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qodir dalam diskusi daring 'Organisasi dan Paham Terlarang: Ancaman Kehidupan Berbangsa', Rabu (16/9/2020).

Zuly, yang merupakan ahli politik Islam, menegaskan, negara selama ini sudah cukup memberikan toleransi kepada kelompok-kelompok anti-Pancasila.

Menurutnya, sudah saatnya negara bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak banyak tersebut demi keutuhan NKRI. Selain itu, Zuly meminta masyarakat tidak terprovokasi dengan propaganda dan manipulasi politik yang dilancarkan kelompok-kelompok anti-Pancasila.

Salah satu narasi yang kerap digunakan untuk memprovokasi, yakni setelah HTI dilarang, selanjutnya negara akan melarang Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya.

"Jangan mau diprovokasi dengan narasi jika HTI dilarang maka NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya akan dilarang. Jangan sampai warga negara mau diprovokasi karena ini sebuah provokasi politik. Manipulasi politik," katanya.

Dalam kesempatan ini, Pendiri Institute for Syriac Culture Studies (ISCS), Bambang Noorsena menegaskan, negara tidak perlu lagi membuka diskusi dan dialog dengan HTI atau kelompok anti-Pancasila lainnya. Menurutnya, diskusi berada pada ruang lain.

Sementara, negara memiliki kewenangan untuk memaksa, apalagi jika berkaitan dengan kewibawaan dan keselamatan negara.

"Ketika satu ormas dan organisasi jelas-jelas hidup di negara yang dasarnya Pancasila kok menolak Pancasila. Itu bukan lagi wilayah diskusi itu adalah wilayah tindakan tegas aparatur negara untuk menegakkan hukum," katanya.

Dicontohkan, ketika seorang pelaku kejahatan dibawa ke pengadilan dan terbukti bersalah secara hukum melakukan kejahatan, maka dijatuhi hukuman pidana. Sementara ruang diskusi untuk mengetahui penyebab seseorang melakukan kejahatan atau edukasi agar orang tidak melakukan kejahatan merupakan ruang lain yang dapat dilakukan oleh kriminolog.

"Termasuk dalam konteks pelarangan leninisme, marxisme, khilafahisme itu dalam konteks wilayah hukum jadi bukan lagi dalam konteks diskusi. Dan keselamatan rakyat banyak ini jauh lebih penting ketimbang orang perorang atau golongan per golongan," tegasnya.

Ditegaskan, NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah harga mati. NKRI yang merupakan bentuk negara tidak mungkin dibingkai dengan dasar lain kecuali Pancasila yang secara jelas dapat menaungi perbedaan dan tidak meleburkan perbedaan itu sendiri.

Dikatakan, Pancasila tidak bertentangan dengan agama. "Pancasila sejalan dengan agama. Dalam konteks kebinekaan bangsa kita mari kita implementasikan nilai-nilai Pancasila dalam konteks masyarakat majemuk. Kita memang tidak sama tapi kita harus bisa bersama-sama demi kelangsungan NKRI yang berdasarkan Pancasila," katanya.

Sementara Direktur Indonesia Center for Middle East Studies, Dina Yulianti Sulaeman mengibaratkan Indonesia sebagai kapal yang harus dijaga bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa.

Dina mengakui, dalam bahtera bernama Indonesia masih terdapat sejumlah kekurangan, terutama dalam mencapai tujuan dan cita-cita yang digariskan para pendiri bangsa. Namun, dengan kekurangan itu bukan berarti, kapal Indonesia harus dihancurkan dan diganti oleh kapal yang lain.

"Kekurangan itu untuk diperbaiki dan cita-cita itu dicapai dengan kerja keras bukan dengan menghancurkan," katanya.

Untuk itu, Dina mewanti-wanti masyarakat untuk mewaspadai gerakan atau kelompok yang terlihat bertujuan baik, namun memiliki niat untuk menghancurkan NKRI.

Menurutnya, masyarakat dapat menilai sebuah gerakan atau ideologi membahayakan negara dengan tiga parameter, yakni menolak perbedaan atau intoleran, menghalalkan hoax atau manipulasi informasi serta membenarkan atau mendukung kekerasan.

Dina menjabarkan, berbagai bukti yang menunjukkan Hizbut Tahrir dan kelompok sejenis memenuhi tiga parameter tersebut.

"Mungkin seolah baik, tapi kalau melakukan ketiga hal tersebut berarti berbahaya dan harus diwaspadai. Kita sebagai warga masyarakat perlu ambil bagian tidak bisa berdiam saja karena NKRI ini adalah rumah kita bersama dan kita bertanggung jawab untuk menjaganya," katanya.

No comments:

Powered by Blogger.