Breaking News

Ogah Hapus Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Wamenkumham: Tak Setuju, Saya Tantang ke MK

Ahli dari pihak terkait Prof Edward Omar Syarief Hiariej (tengah) memberikan keterangan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat 21 Juni 2019. Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan pemerintah tidak akan menghapus pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), kendati pasal tersebut menuai kritik.

"Tidak akan kami hapus. Tidak akan," ujar pria yang akrab disapa Eddy Hiariej itu di Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 28 Juni 2022.

Eddy menampik bahwa pasal tersebut dibuat untuk membatasi kritik. Ia menuduh orang-orang yang beranggapan demikian sesat berpikir.

"Itu orang yang sesat berpikir, dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Kan yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik. Jadi yang menyamakan penghinaan dengan kritik itu sesat pikir," ujar Eddy.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu mengakui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006  telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan. Kendati demikian, ujar dia, Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa umum dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Putusan MK 2006 itu kan yang diuji empat pasal, 134, 135, 136, dan 207. Gugatan pasal 134, 135,136 dikabulkan, pasal 207 ditolak. Perintah MK, mengubah delik itu menjadi delik aduan. Itu sebabnya mengapa bunyi pasal 351, 353, 354 RKUHP itu delik aduan. Itu sudah berdasarkan putusan MK," ujar dia. "Makanya kalau saya tantang, yang tidak setuju itu untuk dibawa ke MK, enggak akan berani, karena pasti ditolak".

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai perubahan delik penghinaan presiden menjadi delik aduan pada RKUHP tidak menghilangkan masalah utama pada pasal anti-demokrasi itu.

"Justru sebaliknya, hal itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah mencari celah untuk mengingkari putusan MK," demikian keterangan resmi PSHK, dikutip dari situs resminya, Selasa, 28 Juni 2022.

 

No comments:

Powered by Blogger.