Breaking News

Soal FPI Jokowi Ingin Bekerja Sama dengan Kelompok Islam yang Sejalan


Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dia akan mencoba untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Islam, selama pandangan mereka tidak melanggar prinsip-prinsip pendirian Indonesia yang mencakup pemerintahan sekuler dan toleransi terhadap beberapa agama yang diakui secara resmi.
“Jika sebuah organisasi membahayakan negara dalam ideologinya, saya tidak akan berkompromi,” katanya beberapa waktu lalu.
Mengenai tudingan bahwa Pemerintah melarang FPI sebagai upaya untuk menghancurkan FPI secara perlahan-lahan agar dapat mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019, hal ini jelas tidak benar.
Ditanya tentang kemungkinan melarang Front Pembela Islam (FPI), Jokowi berkata: “Ya, tentu saja, sangat mungkin jika pemerintah meninjau dari sudut pandang keamanan dan ideologis, dan terbukti bahwa mereka tidak sejalan dengan negara.”
Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa dirinya akan mencoba untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Islam yang tidak melanggar prinsip-prinsip pendirian Indonesia seperti Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Sebelumnya pada Selasa (30/7), Menteri Dalam Negeri Indonesia Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa “semua aspek” dari permintaan itu sedang “diperiksa”, terutama apakah FPI “menerima Pancasila”.
Seharusnya FPI lebih introspeksi diri karena kehendak rakyat lah yang ingin membubarkan FPI. Kehendak itu jauh lebih besar dari pihak-pihak yang menginginkan FPI bertahan. Hal ini terbukti dari adanya petisi berjudul “Stop Izin FPI” yang ditandatangani oleh 485.670 orang, sedangkan jargon “Dukung FPI tetap eksis” hanya 198.764 tanda tangan.
Seharusnya FPI instropeksi atas tindakan apa yang sudah dilakukan di masa lalu hingga mengakibatkan masyarakat muak dengan keberadaan FPI. Ibaratnya tidak akan ada asap tanpa ada api, seperti itulah nasib FPI.
FPI menginginkan hukum syariah berlaku untuk 230 juta Muslim Indonesia. FPI menjadi pemain kunci dalam mengorganisasi protes jalanan besar-besaran pada tahun 2016 dan 2017 untuk menuntut Ahok.
Jokowi pada tahun 2017 telah melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)—sebuah kelompok yang lebih kecil dari FPI yang mengkampanyekan kekhalifahan global.
Memasuki periode kedua Jokowi, presiden menegaskan bahwa ia akan menindak tegas kelompok-kelompok Islam yang pandangannya melanggar prinsip-prinsip pendirian Indonesia (Pancasila), yang berarti membuka kemungkinan Jokowi akan melarang ormas Front Pembela Islam jika dirasa bertentangan dengan ideologi negara.
Seperti diketahui pendaftaran FPI sebagai “organisasi massa” berakhir pada 20 Juni 2019, dan kelompok itu telah mengajukan permintaan perpanjangan. Kemendagri belum menerbitkan izin perpanjangan SKT FPI karena masih belum melengkapi lima syarat.
Sejak didirikannya, FPI telah vokal dan aktif dalam menegakkan hukum-hukum Islam, dan berani untuk bertindak, mulai dari menggerebek tempat hiburan, menutup tempat-tempat makan yang buka saat bulan puasa, hingga mengerahkan ratusan ribu orang untuk menuntut dipenjarakannya mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
FPI yang sebelumnya berada di pinggiran politik Indonesia pun kemudian menjadi salah satu aktor politik berpengaruh dan harus diperhitungkan. Telah lama dianggap sebagai kelompok garis keras yang menggunakan simbol-simbol Islam untuk mendorong agenda sosial-politiknya, FPI telah menjadi gerakan politik dengan ideologi yang jelas. Kehadirannya juga kerap membuat resah sebagian masyarakat, yang menginginkan Indonesia untuk menjunjung toleransi dan tetap moderat.
Dan saat ini Kemendagri telah mengambil langkah dengan membentuk tim antar K/L untuk mendalami AD/ART FPI.

No comments:

Powered by Blogger.