Pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin Memiliki Legitimasi Hukum
Jakarta - Pelantikan Presiden ddan Wapres terpilih digugat ke pengadilan. Alasannya pelantikan itu berpotensi tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang.
Gugatan itu ditujukan Dokter Zulkifli S. Ekomei kepada MPR RI, Presiden RI, DPR RI, DPD RI, Pimpinan Parpol, Panglima TNI, Kapolri, dan beberapa menteri.
Pria yang akrab disapa Dokter Zul ini mengungkapkan jika pendapatnya itu didasari fakta pasal 6A ayat 3 UUD 1945 versi MPR.
“Bahwa berdasarkan pasal itu, Paslon Presiden-Wapres dapat dilantik jika memperoleh suara sah lebih dari 50 persen. Lalu, jumlah suara itu harus tersebar di setidaknya 17 provinsi. Perolehan suara di wilayah provinsi yang lainnya tidak boleh kurang dari 20 persen,” tegasnya di Surabaya, Senin (14/10/2019).
“Gugatan ini saya ajukan agar kita kembali lagi ke jalur yang benar. Negeri ini sekarang bukan negara hukum. Tapi, negara kekuasaan. Untuk itu harus dikembalikan ke jalur benar agar ke depannya bangsa ini bisa maju. Kalau dikaitkan dengan pelantikan Presiden tadi ya agak lucu. Sudah dasar hukumnya palsu, dilanggar pula,” kata dia.
Apa Kata Konstitusi?
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pemilihan Presiden dan Wakilnya diatur lewat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Aturan kemudian dipertegas lagi pada Pasal 159, utamanya ayat (1) dan (2).
Ayat (1) menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian, di ayat (2) disebutkan ketika tidak ada pasangan calon yang bisa memenuhi kualifikasi di ayat (1), maka kedua pasangan calon akan dilibatkan dalam pemilihan kembali?dengan suara terbanyak yang jadi pemenangnya. Baik ayat (1) maupun (2) merupakan duplikasi dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
Namun, dalam perkembangannya, aturan ini justru menimbulkan polemik sebab dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil. Pada 2014, upaya uji materi pun dilakukan.
Fitrah Bukhari, dalam tesisnya di program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PDF, 2015) menulis: uji materi dilakukan karena pada pilpres 2014 hanya ada dua paslon (Jokowi-Jusuf Kalla & Prabowo-Hatta Rajasa) yang berpartisipasi. Apabila ketentuan Pasal 159 tetap diberlakukan, potensi pemborosan keuangan negara, ketidakstabilan politik, serta gesekan di akar rumput berpotensi besar muncul di permukaan.
Karena itu, agar menghindari kesimpangsiuran pemahaman dan menjamin keadilan maupun kepastian hukum, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini dinilai tidak secara eksplisit menjelaskan berapa jumlah pasangan calon dan hal tersebut baru diketahui jika dikaitkan dengan ketentuan ayat (2) di pasal yang sama.
Padahal, dengan melihat situasi pada pilpres 2014, hanya terdapat dua pasangan calon yang bertarung. Pemohon beranggapan konstruksi hukum yang dibangun dalam Pasal 159 adalah untuk pemilihan yang kontestannya lebih dari dua pasangan.
Sementara di Pilpres 2019 hanya terdapat 2 paslon sehingga berdasarkan Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 maka syarat persentase persebaran suara menjadi tidak berlaku.
MK, pada akhirnya, mengabulkan uji materi para pemohon yang kemudian dituangkan lewat Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 (PDF). Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bersifat inkonstitusional bersyarat?sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 sudah dimasukkan ke dalam PKPU No. 5/2019 sehingga pelantikan Jokowi dan Ma’ruf Amin memiliki legitimasi hukum.
Erna Ratnaningsih, pengajar Fakultas Hukum di Universitas Bina Nusantara, dalam “Asas Erga Omnes dalam Putusan Mahkamah Konstitusi” (2017), menjelaskan asas erga omnes berarti putusan MK harus ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali.
Dengan aturan yang jelas seperti ini, pertanyaannya sekarang ialah mengapa masih ada yang menafsirkan aturan Pilpres secara serampangan dan terkesan mencari celah hukum?
Juanda, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu, mengungkapkan hal tersebut disebabkan karena pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi Pilpres punya kepentingan politik tersendiri yang sayangnya tidak berpedoman pada konstitusi. Kepentingan itu membikin setiap pihak menafsirkan aturan yang ada sesuai tujuan mereka masing-masing.
“Pilpres, kan, berkaitan dengan politik bangsa, hajat orang banyak, dan wajah demokrasi Indonesia. Ada kepentingan politik yang banyak di sini. Banyaknya kepentingan itu akan membuka ruang multitafsir selama mereka tidak punya pemandu filosofis dan konstitusi. Filosofis di sini adalah Pancasila, sementara konstitusi adalah UUD 1945,” katanya saat dihubungi Tirto via telepon.
Mengingat Indonesia merupakan rechstaat (negara hukum), maka sudah semestinya setiap perkara yang menyangkut kepentingan orang banyak harus didasarkan aturan hukum yang ada.
“Putusan MK (soal pilpres) clear. Yang mendapatkan suara terbanyak adalah yang jadi pemenangnya. Ini yang semestinya dijadikan pedoman. Bukan malah menafsirkan lainnya,” katanya.
Agar polemik tentang tafsir konstitusi ini tak makin runyam, Juanda mengimbau masyarakat tidak serta merta menelan informasi yang ada. Penting bagi masyarakat untuk tetap memverifikasi kebenaran serta melihat duduk perkaranya dengan kepala terbuka.
Sumber: https://bidikdata.com/
No comments: