Breaking News

Omnibus Law Dinilai Sejalan dengan Hukum Progresif

 


Hampir seluruh akademisi telah berkomentar mengenai Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja. Bahkan, timbul perdebatan pro kontra diantaranya.


Giliran akademisi sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad), Dr Sulbadana menyampaikan pandangannya mengenai regulasi yang dibentuk dengan konsep Omnibus Law.


Mencermati konsep Omnibus Law, Dr Sulbadana menjelaskan, teori dan landasan yang digunakan untuk membentuk regulasi tersebut merupakan bagian dari hukum progresif.


“Omnibus Law secara teori dan landasan yang digunakan Presiden Joko Widodo dalam menciptakan UU Cipta Kerja sejalan dengan teori atau konsep Sajipto Rahardjo, yakni hukum progresif,” jelasnya saat tampil dalam diskusi live podcast Palu, Ahad (18/10/2020).


Mengenai hukum progresif, menurut Dr Sulbadana, bahwa hukum harus mengakar pada hati nurani, yang mana hukum dibentuk untuk manusia. Jika dikaitkan dengan UU Cipta Kerja, dimaknai hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat, salah satunya kesejahteraan.


“Jika ada kebutuhan yang benar-benar untuk kesejahteraan, maka pembentukannya tidak harus memperhatikan aspek prosedural atau legalisitik. Tapi, bagaimana caranya dengan niat yang baik dan nurani, maka itu dibuat,” jelasnya. 


Selain itu, akademisi hukum Untad itu, juga menanggapi kritikan yang berkembang terhadap proses pembentukan yang dinilai tidak sejalan dengan Undang-undang (UU) nomor 15 tahun 2019 tentang perubanan atas UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.


Menurut Dr Sulbadana, pilihan menggunakan konsep Omnibus Law sebagai langkah dalam menyederhanakan UU di Indonesia memiliki sebuah konsekuensi, salah satunya gelombang penolakan dari organisasi pekerja atau buruh, mahasiswa, hingga akademisi.


“Mencermati mekanisme pembentukannya disahkan menjadi UU, memang melabrak pembentukan praturan perundang-undangan, tapi  itu konsekuensinya,” jelasnya.

No comments:

Powered by Blogger.