Breaking News

Mahfud Pastikan UU Otsus Papua Sesuai Prinsip dan Mekanisme UUD 1945


Jakarta - Majelis Rakyat Papua (MRP) mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyampaikan pembentukan UU Otsus Papua sudah sesuai dengan prinsip dan mekanisme UUD 1945.
"Undang-undang ini dibentuk secara sangat konsisten dengan UUD 1945 tentang pembentukan undang-undang, yakni dibentuk secara bersama oleh DPR bersama Pemerintah," kata Mahfud dalam sidang pembacaan keterangan/jawaban Presiden atas permohonan pengujian Undang-Undang No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang disampaikan melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (16/11/2021).

Mahfud menyampaikan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan dan mempunyai kekuasaan membentuk UU melalui proses pembahasan untuk mencapai kesepakatan bersama DPR. Mahfud menyebut lembaga atau pihak lain tidak dapat ikut menetapkan UU, tapi dalam prosesnya masukan dan pendapat pihak lain harus didengar dan ditampung.

"Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang mempunyai kekuasaan untuk membentuk undang-undang, dengan mekanisme bahwa setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Tidak ada lembaga atau orang yang boleh ikut menetapkan dalam persetujuan bersama sebagai kekuasaan dan hak eksklusif DPR dan Presiden (Pemerintah) ini meskipun, tentu saja, selama prosesnya perlu dan harus mendengar berbagai pendapat dan masukan dari masyarakat," ujarnya.

"Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menjadi pemohon pengujian dalam perkara ini tidak berhak untuk ikut menetapkan UU ini secara final tetapi tetap berhak untuk menyampaikan dan didengar pendapatnya dalam proses pembentukannya dan hal itu sudah dilakukan seperti yang nanti akan dibuktikan di persidangan," lanjutnya.

Mahfud menjelaskan tujuan dibentuknya UU Otsus Papua tak lain untuk memajukan Provinsi Papua yang merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mahfud mengatakan dalam pembentukan UU Otsus Papua, pemerintah juga menggunakan pendekatan bottom-up dan top-down dalam implementasi kebijakan dan program-programnya agar terjadi akselerasi dan akurasi sesuai dengan yang diharapkan.

"UU ini dibentuk untuk memperkuat ikatan kesatuan dan memajukan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI, baik berdasar konstitusi dan tata hukum kita, maupun menurut hukum internasional," ucapnya.

Mahfud menjelaskan nantinya dalam melakukan pemekaran daerah di Papua dilakukan sesuai dengan kebutuhan politik dan administrasi pemerintah. Dia mengatakan tidak menutup ruang bagi pihak lain termasuk MRP untuk berinisiatif memberikan masukan secara bottom-up.

"Terkait dengan ini, dalam pembentukan UU Pemekaran Daerah khusus Papua nantinya maka inisiatif dan pengusulannya dapat berasal dari Pusat dan dapat berasal dari Daerah sesuai dengan kebutuhan politik dan pemerintahan yang akselaratif dan akurat atau tepat sasaran. Ketentuan yang demikian sama sekali tidak menutup kemungkinan bagi MRP dan pihak-lain di Papua untuk secara bottom up mengambil inisiatif dan menyampaikan usul pemekaran daerah di Papua," imbuhnya.

Seperti diketahui, Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) yang disahkan pada 22 Juli 2021 bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu MRP mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU tersebut.

"Menyatakan bahwa pasal-pasal: Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59, Pasal 68A, dan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," demikian bunyi permohonan MRP yang dilansir website MK, Rabu (1/9).

MRP memberikan kuasa kepada Saor Siagian, Imam Hidayat, Esther D Ruru, Roy Rening, Rita Serena Kalibonso, Lamria Siagian, Ecoline Situmorang, Alvon Kurnia Palma, Haris Azhar, dan Muniar Sitanggang. Salah satu alasan melakukan judicial review adalah revisi UU itu dinilai tidak melibatkan rakyat Papua melalui MRP.

Revisi ini tanpa adanya masukan, usulan, dan partisipasi dari Pemerintah Provinsi Papua, MRP, dan DPRP, yang dalam hal ini merupakan representasi kultural orang asli Papua dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Sehingga mereka menilai hal itu menunjukkan tidak adanya itikad baik dan tanggung jawab Presiden RI dalam pelaksanaan kewenangan pengajuan rancangan undang-undang. (dek/aud)

No comments:

Powered by Blogger.