Bahaya Dampak Politik Identitas terhadap Kebhinekaan Bangsa
Indikator politik identitas akan mewarnai Pemilu 2024 telah tampak. Terlihatnya bendera tauhid “ala” HTI pada deklarasi salah satu calon Presiden pada Pemilu yang akan datang menjadi bukti kuat. Sentimen keagamaan mulai dibawa dalam pertarungan politik.
Sepertinya politik identitas masih menjadi primadona kampanye calon Presiden seperti pada Pilpres sebelumnya. Pada Pilkada 2017 dan Pilpres 2019 yang lalu jelas terlihat bagaimana tafsir agama efektif menjadi alat menyerang rival politik dalam kontestasi politik elektoral.
Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi kunci kemenangan dalam Pilpres. Faktor ini yang menyebabkan sehingga politik identitas tetap menjadi primadona kampanye.
Ujaran kebencian, politisasi agama dan paham radikal menjadi lokomotif efektif pendulang suara untuk memperoleh dukungan suara mayoritas tersebut. Alhasil, berbagai cara dilakukan. Termasuk menjadikan tafsir agama sebagai alat untuk menjustifikasi caci maki, ujaran kebencian dan fitnah politik.
Agama Islam yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, kedamaian dan keharmonisan, menjadi alat pembunuh paling kejam dalam konstelasi politik demokrasi Indonesia. Suatu kengerian yang akan berdampak negatif pada kebhinekaan dan pluralitas bangsa Indonesia.
Politik identitas menjadi presiden buruk terhadap agenda-agenda demokratisasi di Indonesia; penegakan HAM, pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahteraan, transparansi, dll. Politik identitas dengan politisasi agama sebagai background utama merupakan “kotoran” demokrasi yang semestinya tidak ditampilkan dalam kontestasi politik.
Bagi politisi yang haus kekuasaan, kontestasi politik tujuannya hanya satu, menang, apapun caranya. Termasuk strategi politik identitas yang korbannya pasti masyarakat bawah. Politik identitas hanya membentuk polarisasi rakyat kecil. Pasca pemilihan pasti menimbulkan luka, sementara para elite politik menyiapkan pesta pora.
Selepas gelaran pemilu usai, para elite biasanya melakukan agenda rekonsiliasi. Kita masih ingat rekonsiliasi Jokowi-Prabowo dan makan siang Megawati-Prabowo pasca perseteruan politik mereka. Sementara, masyarakat pendukungnya tetap saling berseteru dengan segala argumentasi yang membikin pilu. Di atas berpelukan di bawah perseteruan. Sesama pemeluk agama tetap bermusuhan. Sebuah pemandangan yang membuat pilu.
Supaya hal seperti itu tidak terulang, harus ada tindakan pencegahan dari pemerintah dan berbagai elemen masyarakat Indonesia agar kasus-kasus politisi agama tidak terjadi pada Pilpres 2024. Deteksi dini perlu dilakukan, salah satunya dengan melarang bendera dan segala atribut organisasi terlarang yang merentankan terjadinya radikalisme.
Bentangan panjang 4 bendera mirip-mirip bendera HTI pada deklarasi Anies maju menjadi Presiden 2024 kembali mengingatkan kepada kita semua pada kontestasi Pilpres dan Pemilu 2019. Kita melihat dengan sangat terang bagaimana kelompok pengusung khilafah berkoalisi dengan salah satu elite politik.
Walaupun pada saat itu wacana dominan politik identitas dan narasi kelompok radikal belum mampu menembus benteng kaum moderat, tapi kita semua harus tetap waspada. Pada Pilpres mendatang mereka bisa saja lebih terampil mengolah jargon, lebih halus dalam menata diksi, dan lebih apik mendesain manuver politik untuk meraih simpati dari kelompok agama moderat.
Pilpres 2024 memang masih lama, namun aromanya sudah tercium kuat sejak deklarasi Anies maju menjadi Presiden. Karenanya, kita semua harus berusaha memulihkan dan mensterilkan politik demokrasi Indonesia dari serangan politik identitas; politik etnis, gelombang populisme politik berbasis agama, hingga manuver kelompok pro khilafah.
Kita harus mengembalikan ruh politik demokrasi Indonesia yang beradab. Yaitu, politik sebagai seni mengatur manusia dengan penuh sentuhan ketulusan. Kita harus mengubah politik kita hari ini yang berubah menjadi medan konflik dan penuh intrik menjadi politik berakhlak, mencerahkan serta sarat ilmu pengetahuan.
No comments: