Breaking News

Mengurai Kesenjangan Persepsi, Refleksi Sosial-Politik Papua Tahun 2022


 Beberapa saat lagi kita berada di penghujung tahun 2022. Berbagai peristiwa sosial dan politik berlangsung sepanjang tahun tersebut. Segudang persepsi dan opini bermunculan dalam memaknai perjalanan tahun yang bagi sebagian orang dipenuhi dengan hiruk-pikuk yang tidak mudah dilalui.

Belum lama kita berada dalam situasi sosial yang mencekam. Pandemi Covid-19 dengan ragam variannya memberi warna lain tentang cara kita memaknai perjalanan kebangsaan dan keindonesiaan.

Selain itu, kita juga diperhadapkan pada situasi politik yang semakin mengemuka dan menjadi perbincangan akut. Kontestasi Pemilu 2024 sudah sangat terasa di depan mata. Manuver-manuver politik bermunculan yang seakan mengekspresikannya semata sebatas kontestasi. Politik hanya tentang menang dan kalah serta cara meraih kekuasaan.


Sementara isu-isu kebijakan yang sejatinya lahir dari mereka yang akan menang dan kalah serta berkuasa, ataupun mereka yang sedang memangku kebijakan saat ini, tentang keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, pemberdayaan masyarakat di daerah, cenderung tenggelam dan tidak memiliki resonansi nasional yang signfikan.

Papua yang Tertinggal

Dalam konteks itulah kita mengarahkan pandangan jauh ke pelosok daerah-daerah tempat kita berasal. Tempat di mana persoalan-persoalan terus bermunculan dan kurang memenuhi perhatian. Paling tidak, itulah yang terasa dari waktu-waktu. Berbagai macam aturan dan kebijakan dikeluarkan untuk merespons persoalan kedaerahan, tapi tidak kunjung memenuhi persepsi dan visi yang sama.

Pada kenyataannya juga, gejolak dan respons sinis daerah tidak kunjung usai. Justru di saat begitu banyak kanal representatif yang sedianya menjembatani kesenjangan pemahaman tentang apa yang dimaksudkan oleh pemerintah pusat dan apa yang dikehendaki oleh rakyat di daerah. Namun, sebagian besar situasi tersebut berlangsung begitu saja, tanpa memenuhi penjelasan yang memadai selain atas nama kepentingan strategis nasional.

Atas fenomena itulah, sekelumit perjalanan sosial dan politik di Papua dapat dijadikan sebagai refleksi tentang sejauh mana kesatuan persepsi tersebut terjalin dengan baik. Sebab tahun 2022 menjadi tahun pertama yang dilewati setelah pada tahun 2021 sebelumnya kebijakan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001 diperbarui dengan UU Nomor 2 tahun 2021.

Tentu saja tujuan perubahan UU otonomi khusus tersebut cukup ideal sebagai usaha mempercepat pembangunan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Titik tolaknya tidak jauh dari realita kehidupan masyarakat Papua yang masih tertinggal dan terbelakang, justru dengan dukungan kebijakan otonomi khusus selama 20 tahun lamanya. Disadari, sepanjang masa itu masih terdapat kekeliruan pengelolaan dalam berbagai aspek dan sektor tatanan kehidupan publik.

Pemerintah bersama DPR dan DPD bekerja sama secara intens untuk melahirkan kebijakan baru yang bernuansa kedaerahan. Mengatur kembali ruang-ruang yang dipandang tidak terjamah selama 20 tahun, termasuk menegaskan kembali hak-hak masyarakat lokal dan asli Papua sebagai pihak yang menerima kebijakan afirmatif. UU baru pun lahir dan harapan masa depan yang lebih baik pun semakin terbuka lebar.

Tapi, UU Otonomi Khusus yang baru itu seperti cek kosong yang melompong. Persepsi yang sama yang didasarkan atas sosialisasi menyeluruh dan berkesinambungan tidak kunjung terdengar. Apalagi, kebijakan baru ini bukannya diterima begitu saja, melainkan dipenuhi dengan pergolakan paham dan pemikiran. Belum lagi, aturan turunan berupa peraturan pemerintah yang membutuhkan kesamaan visi tentang persoalan yang sedang dihadapi.

Pada gilirannya, tidak satupun aturan turunan yang lahir dari elemen masyarakat Papua. Mereka cenderung sibuk mengurusi dan menyoal eksistensi kebijakan baru itu dengan berbagai cara. Sementara, UU baru harus terus berjalan. Selebihnya, yang lahir adalah aturan-aturan yang muncul dari pemerintah pusat dalam rangka menafsirkan dan memberi makna tentang idealisme otonomi khusus.

Tercatat, sejak Otonomi Khusus Jilid II diundangkan, pemerintah telah mengeluarkan 2 (dua) peraturan turunan terkait UU Otonomi Khusus, yakni PP No. 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua serta PP No. 107 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua. Terakhir pada tahun 2022, pemerintah mengeluarkan PP No. 121 tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.

Semua aturan turunan tersebut dihasilkan sebagai respon pemerintah dalam menetapkan kerangka pengelolaan sebagaimana diamanatkan dalam UU Otonomi Khusus. Namun suatu hal yang menjadi pertanyaan, hingga saat ini elemen kedaerahan yang terdiri dari pemerintah daerah (termasuk DPRP) serta lembaga kultural MRP tidak satupun melahirkan respons masyarakat berupa peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus (Perdasi dan Perdasus). Dengan demikian, masa depan Papua cenderung diwarnai persepi pemeriantah pusat. Dan, seperti biasa dan sebelum-sebelumnya, situasi ini akan melahirkan duri daging dan menjadi "bom waktu" bagi keberlanjutan kebijakan otonomi khusus itu sendiri.

Di penghujung 2022, kita menyaksikan aura politik baru Papua yang lebih meluas. Daerah Otonomi Baru bermunculan dan membelah peta sosial dan politik di Bumi Cendrawasih. Provinsi Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Pegunungan Tengah dan Papua Barat Daya disahkan menjadi UU. Tentu saja, perkembangan ini akan menjadi tantangan baru dari kondisi sebelumnya yang berlum terakomodasi.

Memang secara sosiologis dan antropologis, pemekaran wilayah di Papua adalah sebuah keniscayaan di tengah perkembangan dan dinamika masyarakat yang semakin berubah. Tapi hal itu tidak berarti mampu menyelesaikan secara sekilas persoalan yang justru telah terpendam selama ini. Sebab kondisi ini akan menjadi tantangan serius bagi kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur politik yang selama ini berlangsung.

Secara khusus, proteksi dan afirmasi masyarakat asli Papua yang selama ini masih centang-perenang dengan berbagai kebijakan yang tumpang tindih akan menjadi rintangan tersendiri. Dengan tidak dihasilkannya Perdasi dan Perdasus sebagai produk lokal, akan menambah persoalan bagi daerah-daerah pemekaran baru tersebut.

Sebab patut disadari, pemekaran wilayah tidak hanya menyisakan persoalan politik kontestasi dan bagi-bagi kekuasaan dan jabatan. Tapi sejauh mana substansi persoalan di Papua terjamah dan terakmodasi. Jika tidak, maka apapun yang dihasilkan pada tahun 2022 ini akan menjadi beban sosial dan politik bagi masyarakat Papua.

Sementara itu, pemerintah pusat terkesan hendak mendominasi pemikiran tentang arah Papua masa depan. Idealisme otonomi khusus yang baru patut diapresiasi dan diberikan ruang untuk berkembang. Namun penyediaan ruang-ruang itu harus melibatkan elemen-elemen kedaerahan yang mengetahui kebatinan dan kebutuhan riil masyarakat pada akar rumput.

Memang tidak mudah menyamakan visi tentang Papua pasca Otonomi Khusus Jilid II. Tapi melibatkan berbagai elemen dan representasi kedaerahan dalam rangka sosialisasi dan pemberian pemahaman adalah langkah yang wajib ditempuh. Suara-suara yang merepresentasikan Asli Papua tidak boleh diabaikan untuk sekedar didengarkan sebagai masukan dan bahan pertimbangan.

Kenyataan itulah yang terangkum dalam berbagai kunjungan representatif di Tanah Papua. Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Papua, saya merasakan atmosfir idealisme yang cukup optimis tentang masa depan. Kebijakan Otonomi Khusus baru memberikan porsi lebih besar pada anggaran, pengawasan dan pembinaan, fasilitas pendidikan dan kesehatan serta bagi hasil sumber daya alam. Namun hal itu akan menjadi optimisme yang berubah pesimisme saat mekanisme pengelolaan kebijakan secara umum tidak menyentuh akar rumput. Karena hingga pada level bawah, mereka pun masih kebingungan tentang bagaimana merespons perubahan besar ini.

Jangankan berharap pada pemahaman yang sama dengan semangat positif dari kalangan pemerintah daerah dan elemen kultural di Papua, kalangan akademisi dan mahasiswa pun yang notabene terpelajar masih memiliki kecurigaan akibat pemaknaan yang cenderung keliru.

Pada saat yang sama, DPD dan DPR pun tidak mampu berbuat banyak, apalagi sebatas menjadi "corong" bagi pemerintah pusat yang justru "mengabaikan"-nya.

Kita tidak menginginkan situasi ketidaktahuan berbuah penolakan dan sikap apatis. Sebab mimpi tentang Papua damai, sejahtera dan berkeadaban akan terus menjadi rintangan untuk diwujudkan. Sementara suara-suara lokal, nasional dan internasional tidak usai menjadi alternatif opini.

Di lain sisi, niat baik pemerintah, DPR dan DPD sejak awal, justru dianggap sebagai skenario buruk untuk mengeliminasi masyarakat asli Papua yang sejak awal terpinggirkan.

Oleh karena itu, atas segala keprihatinan dan keresahan saat ini, kita berharap segenap kerja keras pada tahun 2022 ini akan membuahkan hasil di masa yang akan datang. Tentu saja tantangan akan terus berdatangan. Dan, itulah tujuan keberadaan kita sebagai anak bangsa untuk saling memberikan dukungan, penguatan dan pencerahan dalam satu rumah bersama NKRI.

Namun, jika keprihatinan dan kegelisahan ini tidak menuai solusi, maka rumah bersama itu hanya diisi oleh para penghuni yang terlelap di atas satu bantul yang sama dengan mimpi yang berbeda

No comments:

Powered by Blogger.